Kamis, 17 November 2011

TANAH DJAWA




Culture in society permanently never stops changing. The identity of the Javanese people, are depressed in the values of cultural and spiritual traditions. In the era of modernity, traditional art is often considered outdated and static. But when the artists lose the creativity and ideas, the visual elements and concepts of cultural traditions – previously marginalized just as exotic – it can be accepted and bring the bright.
Budaya dalam masyarakat secara permanen tidak pernah berhenti berubah. Identitas orang Jawa memang tertekan pada nilai-nilai budaya tradisi dan spiritualnya. Dalam moderenitas jaman,“seni tradisi” kerap dianggap sudah usang dan statis. Namun ketika seniman kehilangan kreatifitas beserta ide-ide, maka elemen-elemen visual dan konsep dari budaya tradisi – semula terpinggirkan sebagai eksotisme – justru dapat diterima dan membawa terang.
Traditional art also changed dynamic at the same time customary rules came loose – especially in Java land. Traditional art right now is certainly not the same as artifacts made several hundred years ago. When the world is not yet divide into modern society. Javanese art has gone through a long journey. Begin from architecture and relief of Borobudur, until the beginning of modern art which is represented by Raden Saleh as a pioneer. Affandi dan Sudjojono continues on.
Seni Rupa Tradisi juga berubah dinamis bersamaan kendurnya aturan adat – terutama di tanah Jawa. Seni Rupa Tradisi sekarang pasti tidaklah sama dengan artefak yang dibuat beberapa ratus tahun yang lalu. Saat dunia belum dibagi dalam masyarakat moderen. Seni Rupa Jawa yang kaya telah melalui perjalanan yang panjang. Mulai dari arsitektur dan relief Borobudur, hingga permulaan seni moderen yang diwakili Raden Saleh sebagai pelopor. Terus berlanjut pada Affandi dan Sudjojono.
As the next generation of painters, Hendra Gunawan member of Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA). Picture of community life or the villagers as “Themes Java” is often colored his paintings. hendra figure portrait in the lettuce song by Yayat Surya, become an important part in the Tanah Djawa Exhibition by Art Liberation Front (ALF) at the National Museum of Yogyakarta awhile ago.
Sebagai generasi pelukis berikutnya, Hendra Gunawan yang juga anggota Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA), Gambaran kehidupan rakyat kecil atau orang kampung sebagai “Tema Jawa” kerap mewarnai lukisan-lukisannya. Potret sosok Hendra dalam The Lettuce Song karyaYayat Surya, menjadi bagian penting dalam Exhibition Tanah Djawa oleh kelompok Art Liberation Front (ALF) di Museum Nasional Yogyakarta beberapa waktu lalu.
In the exhibition “Tanah Djawa” some household items that might have been removed, now brought back to be processed into works of art. Priyayis Munandar digging tool works. Nasirun, Sumartono, Djarot Setiadi bird cage works, now become an art installation that revealed cultural background.
Dalam pameran “Tanah Djawa” beberapa obyek keseharian yang mungkin sudah dibuang, kini diambil kembali diolah menjadi karya seni. Alat gali karya Priyayis Munandar dan sangkar burung karya Nasirun, Sumartono, Djarot Setiadi kini menjadi sebuah instalasi seni yang mengungkapkan latar budaya.
Java does have a practical tendency. Materials that have been discarded, such plastic bottles are reused again to shift the aesthetic and practical functions. Through the impressive work, this becomes the courage to ALF groups and other artists in commenting on the complex and extensive theme.
Jawa memang memiliki kecenderungan praktis. Bahan-bahan yang sudah dibuang seperti botol plastik masih dipakai lagi dengan peralihan fungsi yang estetis dan praktis. Ini menjadi sebuah keberanian bagi kelompok ALF dan seniman lain dalam mengomentari tema yang rumit dan luas melalui  karya yang mengesankan.
Gatholoco describe Javanese literary tradition and puppets, also has a charge of Picardy and satire. What the world of puppets have a symbolic dimension, war and jokes as reality.
Gatholoco menggambarkan tradisi sastra Jawa dan wayang yang juga memiliki muatan kenakalan dan satire. Betapa dunia wayang punya dimensi simbolis, perang (goro-goro) dan lelucon sama seperti kenyataannya.
In Hindu-Buddhist philosophy, all back again as the cycle of nature and life that never ends, just different forms. Art as a cultural discussion guidelines have an important function. A major challenge for artists brought so great case and sometimes mysterious. Young artists such as ALF group, is still looking for a different aesthetic positions.
Dalam filosofi Hindu-Budhis, semua kembali lagi seperti siklus alam dan kehidupan yang tidak berakhir, hanya bentuknya yang berbeda. Seni rupa sebagai pedoman diskusi budaya mempunyai fungsi penting. Sebuah tantangan besar untuk seniman yang bertemakan sesuatu yang begitu luas dan terkadang misterius. Seniman muda seperti kelompok ALF tetap mencari posisi estetis yang berbeda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar